Selasa, 22 Februari 2011

masuknya peafsiran al Quran

Makalah Ulumul Quran: Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an

Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an

oleh: Farihatni Mulyani*

Abstrak

Tulisan ini mengangkat tentang israiliyat yang masuk dalam penafsiran
al-Qur'an, Israliyyat adalah bentuk jamak dari Israiliyyah yakni bentuk kata
yang dinisbahkan kepada kata Israil (bahasa Ibrani), Israiliyyat dalam tafsir
al-Qur'an tidak lepas dari kondisi sosio cultural masyarakat Arab pada zaman
Jahiliyyah, pengetahuan mereka tentang ini telah masuk ke dalam benak
keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan
Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah
Islam, keberadaan Israiliyyat dalam tafsir banyak memberi pengaruh buruk
terhadap sikap teliti yang telah diperaktikan oleh para sahabat dalam
mentransper Israiliyyat dan tidak menjadi perhatian generasi sesudahnya,
sehingga banyak cerita Israiliyyat yang mengandung khurafat dan bertentangna
dengan nash mewarnai kitab tafsir.
Kata kunci : Israiliyyat, Tafsir, Penafsiran

PENDAHULUAN

Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang tidak akan berubah oleh
campur tangan manusia, tapi pemahaman terhadap al-Qur'an tidak tetap,
selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang memahami isi
kandungan al-Qur'an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk
konsep yang bisa dilaksanakan. Dan ini akan terus berkembang sejalan
tuntutan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di sinilah
celah-celah orang yang ingin menghancurkan Islam berperan.
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an harus dipahami, dihayati dan
diamalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu, namun dalam
kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur'an,
bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan
turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah
*Penulis adalah Dosen pada fakultas Syari'ah IAIN Antasari Banjarmasin dan
sedang menempuh S.2 di Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin angkatan
2006, konsentrasi Filsafat Hukum Islam.

struktur bahasa dan kosa katanya. Tidak jarang mereka berbeda pendapat
atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengan
atau yang mereka baca.1 Karena itu Rasulullah berfungsi sebagai
penjelas (mubayyin) maksud firman Allah.

Pada masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak banyak
menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi
hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satu ayat,
mereka akan langsung bertanya kepada Rasulullah saw dan kemudian
Beliau menjelaskan maksud kandungan ayat tersebut. Akan tetapi
sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam banyak menemukan kesulitan
karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab, al-Qur'an terkadang
mengandun isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orangorang
Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa
membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat
seperti itu.

Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadits
Rasulullah saw, karena mereka berkeyakinan bahwa Beliaulah satu-satunya
orang yang paling banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah.
Disamping itu, mereka mengambil langkah dengan cara menafsirkan satu
ayat dengan ayat lainnya, langkah selanjutnya yang mereka tempuh adalah
menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami
konteks posisi ayat tersebut. Manakala mereka tidak menemukan jawaban
dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad
dan lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya
mereka yang mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni seperti
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud ra.2
Selain bertanya kepada para sahabat seneor sumber informasi bagi
penafsiran al-Qur'an, mereka bertanya juga kepada ahli kitab, yaitu kaum
Yahudi dan Nashrani. Hal itu mereka lakukan lantaran sebagian
masalah dalam al-Qur'an memiliki persamaan dengan yang ada dalam
kitab suci merkaa, terutama berbagai tema yang menyangkut umat-umat
terdahulu. Penafsiran seperti ini terus berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia dan kebutuhannya akan urgensi al-Qur'an
1Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir,al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kutub
wal al-Hadits, 1976), jilid I, h. 59.
2M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 71

sebagai petunjuk bagi kehidupannya sedemikian sampai-sampai tanpa
disadari bercampurlah tafsir dengan Israiliyat. Kehadiran israiliyyat
dalam penafsiran al-Qur'an itulah yang, menjadi ajang polemic dikalangan
para ahli tafsir al-Qur'an. Karenanya, makalah ini akan membahas tema
israiliyat dari sudut apa pengertian israiliyyat, bagaimana proses masuk
dan berkembangnya israiliyyat dalam tafsir dan bagaimana pengaruh
israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Israiliyyat
Ditinjau dari segi bahasa kata israiliyyat adalah bentuk jamak
dan kata israiliyah, yakm bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil
yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti Tuhan, jadi
Israil adalah hamba Tuhan. Dalam deskreptif histories, Israil barkaitan erat
dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunan beliau
yang berjumlah dua betas disebut Bani Israil. Di dalam al-Qur'an banyak
disebutkan tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi.3 Misalnya
firman Allah dalam surah al-Maidah:78, al-Isra:4, an-Naml: 76.

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (al-Maidah: 78)

Dan telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu,
sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
3Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits,
terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 8.

ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan
kesombongan yang besar. (al-Isra : 4)

Sesungguhnya al-Qur'an ini menjelaskan kepada Bani Israel
sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih
tentangya (an-Naml: 78)

Secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
israiliyyat. Menurut adz-Dzahabi israiliyyat mengandung dua pengertian
yaitu, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan
hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi,
Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja
diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang
sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.4
Definisi lain dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan beritaberita
yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam
Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat
Islam, selain dari Yahudi merekapun menyerapnya dari yang lain.5
Sedangkan Sayyid Ahmad Khalil mendefenisikan israiliyyat dengan
riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, balk yang berhubungan dengan
agama mereka maupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya.
Penisbahan riwayat israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena para
perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk Islam.6
Dari tiga definisi tersebut di atas tampaknya ulama-ulama sepakat
bahwa yang menjadi israiliyyat adalah Yahudi dan Nashrani dengan
penekanan Yahudilah yang menjadi sumber utamanya sebagaimana
tercermin dari perkataan israiliyyat itu sendiri. Abu Syu'bah mengatakan
pengaruh Nashrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula pengaruhnya tidak
begitu membahayakan akidah umat Islam karena umumnya hanya
4Muhammad Husin adz-Dzahabi, op. cit, h. 9-10.
5Rosihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan
Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 24-25.
6Sayyid Kamal Khalil, Dirasah fil al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Ma'rofah, 1961),
h.113.

menyangkut urusan akhlak, nasihat dan pembersihan jiwa.
Formulasi tentang israillyat tersebut terus berkembang di kalangan
para pakar tafsir al-Qur'an dan hadits sesuai dengan perkembangan
pemikiran manusia. Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat
bahwa israiliyyat mencakup informasi-informasi yang tidak ada dasarnya
sama sekali dalam manuskrip kuno dan hanya sekedar sebuah manipulasi
yang dilancarkan oleh musuh Islam yang diselundupkan pada tafsir dan
hadits untuk merusak aqidah umat Islam dari dalam.
Meskipun israiliyyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum
Nashrani juga turut ambil bagian dalam konstalasi versi israiliyyat ini.
Hanya saja dalam hal ini, kaum Yahudi lebih popular dan dominan.
Karenanya kata Yahudi lebih dimenangkan lantaran selain Yahudi lebih
lama berinteraksi dengan umat Islam, di kalangan mereka juga banyak yang
masuk Islam.

2. Proses Masuk dan Berkembangnya Israiliyyat dalam Tafsir al-Qur'an
Infiltrasi kisah israiliyyat dalam tafsir al-Qur'an tidak lepas dari
kondisl sosio cultural masyarakat Arab ada zaman jahiliyah.
Pengetahuan mereka tentang israiliyyat telah lama masuk ke dalam
benak keseharian mereka sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi
kebudayaan Yahudi dan Nashrani dengan kebudayaan Arab yang
kemudian menjadi jazirah Islam itu.
Sejak tahun 70 M terjadi imigrasi besar-besaran orang Yahudi
ke Jazirah Arab karena adanya ancaman dan siksaan dari penguasa Romawi
yang bernama Titus. Mereka pindah bersama dengan kebudayaan yang
mereka dari ambil dari Nabi dan Ulama mereka, Berta mereka wariskan dari
generasi ke generasi. Mereka mempunyai tempat yang bernama Midras
sebagai pusat pengajian kebudayaan warisan yang telah mereka terima
dan menemukan tempat tertentu sebagai tempat beribadah dan
menyiarkan agama mereka.7
Selain itu juga bangsa Arab sering berpindah-pindah, baik
kearah timur maupun barat. Mereka memiliki dua tujuan dalam
berpergian. Bila musim panas pergi ke Syam dan dingin pergi ke
Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali ahli kitab
yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah
mengherankan bila antara orang Arab dengan Yahudi terjalin hubungan.
7Adz-Dzahabi, op. cit., h. 25.

Kontak ini memungkinkan merembesnya kebudayaan
Yahudi kepada bangsa Arab.
Di saat yang demikian Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai
tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam
disebarkan dan Madinah sebagai tempat tujuan Nabi hijrah tinggal
beberapa bangsa Yahudi yaitu Qurayqa, Bani Quraidah, Bani Nadzir,
Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak.8 Karena orang Yahudi bertetangga
dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif
antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan.
Rasulullah menemui orang Yahudi dan ahli kitab lainnya untuk
mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada
Rasulullah saw untuk menyelesaikan suatu problem yang ada pada mereka,
atau sekedar untuk mengajukan suatu pertanyaan.
Pada era Rasulullah saw, informasi dari kaumYahudi dikenal
sebagai israiliyyah tidak berkembang dalan penafsiran al-Qur'an,
sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah
atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an umpamanya
saja, apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian
yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau
kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah saw.9
Kendatipun demikian,, Rasulullah juga telah memberikan
semacam green light pada umat Islam untuk menerima informasi yang
menyebarkan informasi dari Bani Israil, hal ini tampak dalam hadits beliau:

"Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan
ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu
tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta ayatku, maka
siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka".
8Ibid.

9Zainal Hasan Rifai, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam
Belajar Ulumul Qur'an, (Jakarta: Lentera Basitama, 1992), h. 278.
10Imam Bukhari, Matn Bukhari, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), jilid, II, h. 181.

Demikian pula dalam hadits lain beliau bersabda:

"Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan
pula kamu dustakan mereka. Berkatalah kamu sekalian, kami
beriman kepada dan kepada apapun yang diturunkan kepada kami.
Dari hadits-hadits di atas Rasulullah sebenarnya memberikan
peluang atau kebebasan pada umatnya untuk mengambil atau menerima
riwayat-riwayat dan ahli Kitab. Dua hadits di atas juga memberikan
semacam warning akan perlunya sikap selektif dan hati-hati terhadap
riwayat ahli kitab.

Dan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
israiliyyat sebenarnya sudah lama muncul dan berkembang di
kalangan bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah saw, yang kemudian
terus bertahan pada era Rasulullah saw. Hanya saja ia belum menjadi
khasanah yang merembes dalam penafsiran al-Qur'an.

Setelah Rasul wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas
wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadits
Rasul. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad. Riwayat dan
ahli Kitab menjadi salah satu rujukan. Hal ini terjadi karena ada persamaan
antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'an berbicara secara
padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.

Pada era shahabat inilah israiliyvat mulai berkembang dan
tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dan kaum Yahudi dan
Nashrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi
kisah-kisah dalam al-Qur'an secara global dan Nabi sendiri tidak
menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka
terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran
yang diteima dari Rasulullah saw, sehingga jika mereka menjumpai kisahkisah
israiliyyat yang bertentangan dengan syari'at Islam,
mereka menentangnya.

Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka
menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat
dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas
kewajaran.12
11Ibid.,jilid. III, h. 270.

Pada era tabi'in, penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan
cerita-cerita israiliyyat dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini
adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli Kitab yang
jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari
orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka.
Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin
mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan
kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani.
sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan
kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat. Diantaranya adalah
Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu,
kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw
tersebar.13
Sikap selektef dalam periwayatan menjadi hilang. Banyak
periwayatan yang tidak melalui jalur "kode etik metodologi penelitian"
ilmu hadits dengan tidak menuliskan sanadnya secara lengkap.
Setelah era tabi'in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita
israiliyyat dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak
lagi ada vang ditolak.

Mereka tidak lagi mengambil cerita tersebut kepada al-Qur'an,
walaupun tidak dimengerti oleh akal. Mereka menganggap tidak perlu
membuang cerita-cerita dan kisah-kisah yang tidak dibenarkan untuk
menafsirkan al-Qur'an.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya israiliyyat
dalam tafsir yaitu:14 Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur'an.
Taurat dan Injil dalam global dan ringksan titik tekannya adalah
memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan
Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika
menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat
Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih
12Muhammad Husin adz-Dzahabi, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, tabu.
(Jakarta: Rajawali, 1986), h. 24.
13Ibid.
14Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an, (Bandung: Pustaka Setia,
1997), h. 242-243.

Kedua, ada pula pendapat yang mengatakan rendahnya kebudayaan
masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang banyak yang
pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab
juga selalu berpindah-pindah., tetapi pengetahuan mereka tentang sqarah
masa lampau lebih luas. Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang
difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya
pada ahli Kitab. Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa
kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi
dan Nasrani. Kelima, adanya rute perjalanan niaga. masyarakat Arab, rute
selatan adalah Yaman yang dihuni oleh kalangan Nasrani, sedangkan rute
ke utara adalah Syam yang dihuni oleh kalangan Yahudi.
Menurut Rosehan Anwar sumber israiliyyat dimotori oleh tokohtokoh
primer yaitu Abdullah bin Salam, nama lengkapanya adalah Abu
Yusuf bin Salam bin al-Haris al-Ansari. Ia menyatakan keislamannya
sesaat setelah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah, dalam
perjuangan menegakan Islam, Ia termasuk pejuang dalam perang Badar dan
ikut menyaksikan penyerahan Bait al-Maqdis ke tangan umat Islam.
Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya, Yusuf dan
Muhammad, Auf bin Malik, Abu Hurairah. Imam Bukhari pun memasukan
beberapa riwayat darinya.15

Lebih lanjut Rosihan menambahkan selain tokoh tersebut tercatat
nama Ka'ab al-Ahbar. Nama aslinya adalah Abu Ishaq Ka'ab bin Mani
al-Humairi yang terkenal dengan Ka'ab al-Ahbar karena pengetahuannya
yang dalam, ia berasal dari Yahudi Yaman dan memeluk Islam pada
masa Umar bin Khattab. Dalam perjuangan menegakan Islam ia turut
berjuang menuju Syam bersama kaum muslimin lainnya. Banyak cerita
israiliyyat yang dinisbahkan kepadanya. Riwayat-riwayatnya diterima oleh
Muawiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Malik bin Abi Amir al-Asbani, Atha
bin Abi Rabbah dan lain-lain. Kestsiqatannya menjadi perdebatan para
ulama, Ahmad bin Amir misalnya meragukan ketsiqatannva bahkan
keagamaannya.

Nama lain adalah Wahab bin Munabbih, nama langkapnya
adalah Abu Abdillah bin Munabbih bin Sij al-Yamani. Ia masuk Islam
pada masa Rasululah saw. Dzahabi mengatakan ia adalah orang jujur,
terpercaya dan banyak menukilkan israiliyyat. Menurut Ibnu Hajar ia adalah tabi'in miskin yang mendapat kepercayaan dari Jumhur ulama. Abu
Zahrah dan Nasa'i mengatakan la adalah orang terpercaya.
15Rosihan Anwar, op. cit., h. 37.


3. Pengaruh Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an
Menurut Zainul Hasan Rifa'i,16 masuknya israiliyyat dalam
penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya
banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah
merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Mudatil
ataupun Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya
mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum Berta menggambarkan Nabi
sebagai pemburu nafsu seksual.

Hal ini membawa kesan bahwa Islam adalah agama khurafat,
takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al-Qurthubi
ketika menafsirkan firman Allah swt surat al-Mukmin : 7 yaitu

"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya
bertasbih memuji Tuhan..."

Ayat ini ditafsirkan dengan mengatakan "Kaki malaikat pemikul
`arsy berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke
'arsy.17

Ditambahkannya masuknya israiliyyaat ini memalingkan perhatian
umat Islam dalam mengkaji soal-soal kilmuan Islam. Dengan larutnya umat
Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyyaat, mereka tidak
lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan
anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi musa as, nama binatang
yang ikut serta dalam perahu Nabi Nuh as dan sebagainya dimana perincian
itu tidak dinamakan dalam al-Qur'an karena memang tidak bermanfaat.
Sekiranya bermanfaat al-Qur'an tentu menjelaskan.
Selanjutnya adz-Dzahabi mengatakan18 israiliyyat akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan
pengkongkritan (tasybih dan tajsim) kepada Allah dan mensifati Allah
dengan sifat yang tidak sesuai keagungan dan kesempumaan-Nya. cerita
itupun mengandung unsur ismah (terpeliharanya) Nabi dan para Rasul dari
dosa, menggambarkan mereka dalam bentuk yang menonjol syahwatnya,
mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan buruk yang tidak pantas dan
layak bagi orang yang adil, apalagi orang yang menjadi Nabi.
16Zainul Hasan Rifa'i, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an, dalam
Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah, 1414- Muharrah 1415, h. 12.
17Ibid.
18Muhammad Husin adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.

Lebih lanjut beliau menjelaskan israiliyyat memberikan gambaran seolah-olah Islam
agama khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Disamping itu
dengan israiliyyat hampir saja hilang kepercayaan pada sebagian ulama salaf,
baik dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak sedikit cerita israiliyyat
yang munkar ini disandarkan kepada sahabat atau tabi'in, seperti Abdullah
bin Salam, Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih.
Terhadap israiliyyat ulama salaf yang tokohnya antara lain Ibnu
Taimiyah melihat tiga bagian, ada yang sejalan dengan Islam
perlu dibenarkan dan diriwayatkan, sedangan yang masuk bagian yang
tidak sejalan harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan. Sedangkan yang
tidak masuk bagian pertama dan kedua tidak perlu dibenarkan dan
didustakan, tetapi boleh diriwayatkan. Pendapat serupa dikemukakan
oeh lbu Hajar al-Asqalani.19

Di kalangan ulama Khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Musthafa al-Maraghi, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan al-Biqa'i. Diantara
para ulama ini Muhammad Abduh paling gencar mengkritik kebiasaan
ulama Tafsir yang banyak menggunakan israiliyyat dalam menafsirkan
al-Qur'an. Menurut Muhammad Abduh menggunakan israiliyyat adalah cara
yang mendistori pemahaman terhadap Islam. Sikap keras serupa
diperlihatkan oleh Rasyid Ridha (murid Abduh). Ia mengatakan riwayat
israiliyyat yang secara eksterim diriwayatkan oleh para ulama telah keluar
dari konteks al-Qur'an. Lebih jelas al-Maraghi mengatakan kitab-kitab tafsir
keluar dari konteks israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Sikap negatif
yang sama juga, diperlihatkan oleh Muhammad Syaltut, israiliyyat
menurutnya hanya menghalangi umat Islam menemukan petunjuk al-Qur'an.
Kesibukan mempelajarinya telah memalingkan mereka dari intan dan
mutiara yang terkandung dalam al-Qur'an. Abu Zahrah mengatakan
israiliyyat harus dibuang karena tidak berguna dalam memahami al-Qur'an. Bahkan al-Biqa'i berargumentasi dengan israiliyyat adalah sesuatu yang
mungkar.20
19Rosihan Anwar, op. cit., h. 42.

Penulis berpandangan berdasarkan hadits Rasul dang kenyataan
dengan melihat israiliyyat sebagai sumber tafsir, karena melihat keberadaan
israiliyyat yang banyak negatif. Beberapa contoh penafsiran berdasarkan
israiliyyat banyak kita jumpai dalam tafsir ath-Thabari. Dalam al-Qur'an
kisah penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim as diabadikan dalam
QS. Al-Shafat 102 yang berbunyi:

Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai
anakku, sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu.
Pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu
akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar ".

Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama
berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang
di `al-adzabih' pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud itu adalah Nabi Ismail as. putra Nabi Ibrahim as. dari Siti
Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
Nabi Ishaq as, putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir, menurut Ibnu
Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.21 Karena sumber tafsiran
ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi
yaitu Ishaq as. Bahkan menurut Ibnu Katsir lagi pendapat mereka itu
bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab mereka.
20Ibid., h. 43.

21Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Gema
Insani, 2000), jilid. IV, h. 40.


Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya
mengungkapkan dua kelompok riwayat yang masing-masing mewakili dua
pendapat di atas. Riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq as. diterimanya dari Abi Kuraib,
Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar, dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari
al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul Muthalib dan dari Nabi.
Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak
oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah,
riwayat itu dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu
rawinya yaitu Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan
gurunya pun, Zaid bin Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima.
Namun kelemahan-kelamahan ini tidak dikemukakan oleh
ath-Thabari,22 bahkan ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat
yang mengatakan yang disembelih adalah Nabi Ishaq as, meskipun tidak
mengomentari sanadnya, ia mengomentari matnnya. Dalam hal ini ia
memilih riwayat yang mengatakan yang dimaksud dengan al-dzahib adalah
Nabi Ishaq as. Ia juga mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk
mendukung pendapatnya, ia mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya
ia berargumentasi bahwa permintaan Nabi Ibrahim as agar dikaruniai putra
ketika berpisah dan kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya
Sarah, terjadi ketika ia belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah
peristiwa hijrah itu Tuhan mengabulkan do'anya. Anak itulah yang
menurutnya kemudian dilihatnya disembelih dalam ketiga mimpinya.
Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut sebagai kabar gembira
bagi Nabi Ibrahim as, dalam surah as-Shaffat : 101

"Maka kami memberi kabar gembira kepadanya seorang anak
yang sabar "
.
Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan
dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan
israiliyyat yang bertentangan dengan al-Qur'an. Diantara yang sejalan
dengan al-Qur'an adalah israiliyyat yang bertalian dengan ayat al-A'raf 157
22Rosihan Anwar, op. cit., h. 83.

yang dikutip oleh Ibnu Katsir, yaitu:

"Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi Ummi yang
(namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada
di sisi mereka Nabi yang menyuruh mereka mengerjakan perbuatan
ma'ruf dan melanggar perbuatan munkar serta menghalalkan bagi
mereka segala yang baik ".

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip israiliyyat yang
yang disampaikan ath-Thabari dari al-Mutsanna dari Utsman bin Umar dari
Fulaih dari Hilal bin Atha bin Yasar, Ia berkata :"Aku bertemu dengan
Abdullah bin 'Amr bin Ash dan bertanya kepadanya, ceritakan olehmu
kepadaku tentang sifat Rasulullah saw yang diterangkan dalam Taurat sama
seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an, wahai Nabi sesungguhnya Kami
mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan
pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba-Ku, namamu dikagumi,
engkau tidak kasar tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut namamu
sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang
patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah, dengan perantaraan
engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang
tuli dan membuka mata yang buta".

Ibnu Katsir mengkaitkan israiliyyat itu dengan pernyataan bahwa
Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kItabnya Shahihnya yang diterima
dari Muhammad bin Sinan. dari Fulai, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksinya berbunyi, "dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak
pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa
mempunyai sifat pemaaf. Keberadaan israiliyyat itu dalam shahih Bukhari
menunjukan bahwa kwalitas sanadnya shahih.

Demikian pula israiliyyat ada yang memiliki kualifikasi tidak dapat
diterima dan tidak pula dapat didustakan kebenarannya (maukuf),
contohnya surah an-Nisa 158 tentang kenaikkan Isa al-Masih :

"Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa
kepadaNya dan adalah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana".
Al-Qur'an memang tidak membahas secara rinci
bagaimana proses penyerupaan dan kenalkan Isa as sehingga persoalan
ini kerap kali menjadi bahan kontraversi di kalangan umat Islam.
Umpamanya masih diperselisihkan apakah yang diserupakan dengannya
itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi hanya satu orang atau
semua sahabatnaya yang ketika kejadian itu berlangsung berada di rumah
dengannya. Bila ada uraian tentang hal itu sudah bisa dipastikan
bersumber pada israiliyyat. Dalam hal ini ath-Thabari mengutip israiliyyat
itu. Ia mengemukakan dua macam riwayat yang masing-masing didukung
oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dan Wahbah bin Munabbih
mengatakan yang diserupakan dengan Nabi Isa as adalah seluruh
sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuhnya,
orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama,
akhirnya mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedang Nabi Isa as
diangkat ke langit.

Riwayat kedua yang berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang
diserupakan dengannya adalah salah seorang sahabatnya saja, ketika masuk
orang-orang Yahudi membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan
Nabi Isa as diangkat ke langit.

Ath-Thabari lebih cenderung kepada pendapat Wahab bin Munabbih
dengan pertimbangan rasionya lebih mendekati kebenaran, jika salah satu
saja yang diserupakan, tentu para sahabatnya yakin yang dibunuh adalah
orang yang diserupakan. Padahal sebenarnya mereka merasa kebingungan
siapa sebenarnya yang mereka bunuh tersebut.

Dari israiliyyat-israiliyyat yang mewarnai kitab tafsir, menurut
pendapat saya, sebelum menjadi dasar menafsiran ayat al-Qur'an seorang
mufasir harus bersikap extra hati-hati. Metodenya adalah melakukan studi
kritis sanad, dengan meyebutkan nama-nama rawi yang terlibat dalam
transmisian sebuah riwayat sehingga didapati riwayat yang didasarkan pada
sanad yang sahih. Pencantuman israiliyyat dalam tafsir harus diberi
komentar tidak sekedar "taken for granted" saja sehingga membingungkan
para pembaca tafsir apa pendapat pengarang sebenarnya, apakah
mendukung atau tidak terhadap israiliyyat yang dicantumkan dalam
tafsirnya. Yang kedua harus diperhatikan kesesuaiannya dengan syari'at
Islam, persesualan ini dengan pada al-Qur'an dan Hadits Nabi. Yang ketiga
apakah sesuai dengan rasio atau tidak.


KESIMPULAN
Israiliyyat adalah bentuk jamak dari israiliyyah, yakni bentuk kata
yang dinisbahkan kepada kata israil yang berasal dari bahasa lbram, isra
berarti hamba dan it berarti Tuhan, jadi israil artinya adalah hamba Tuhan.
Dalam perspektif histories israil berkaltan erat dengan Nabi Ya'kub bin
Ishaq as, dimana keturunan beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani
Israil. Secara istilah israiliyyat adalah kisah dan dongeng yang disusupkan
dalam tafsir dan hadits yang asal riwayatnya disandarkan atau bersumber
pada Yahudi, Nashrani dan lainnya atau cerita-cerita yang secara
sengaja diselunduplan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits,
yang sama sekali tidak dijumpai dalam sumber-sumber yang sahih.
Masuknya israiliyyat dalam tafsir tidak terlepas dari kondisi sosio
cultural masyarakat arab pada zaman jahiliyah. Adanya migrasi besarbesaran
orang Yahudi pada tahun 70 M ke jazirah Arab karena ancaman
dari Romawi yang dipimpin oleh kaisar Titus menimbulkan kontak antara
keduanya, ditambah lagi kondisi orang Arab sendiri yang sering melakukan
perjalanan dagang ke Syam dan Yaman., di Madinah sendiri banyak orang
Yahudi yang bermukim di sana.
Keberadaan israiliyyat dalam tafsir banyak memberikan
pengaruh buruk, sikap teliti yang diperlihatkan oleh para sahabat dalam
mentransfer. israiliyyat tidak menjadi perhatian genarasi sesudahnya,
sehingga banyak israiliyyat yang mengandung khurafat dan
bertentangan dengan nash mewarnal kitab tafsif.

Farihatni Mulyani : Masuknya Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an
AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007 17
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-unsur Israilliyyat dalam Tafsir
ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung, Pustaka Setia, 1999.
al-Bukhari, Matn Bukhari, Beirut, Dar al-Fikri, tth, jilid II dan IV.
adz-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassir, Mesir. Dar al-
Kutub wa al-Hadits, 1976, jilid I.
_________________, Penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur'an, Jakarta,
Rajawali, 1986.
_________________, al-Israiliyyat fi Tafsir wa al-Hadits, terjemahan Didin
Hafiduddin, Jakarta, PT Litera Antara Nusantara, 1993.
Khalil, Sayyid Kamal, Dirasah fi al-Qur'an, Mesir, Dar al-Ma'rifah, 1961.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an
dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
ar-Rifai, Muhammad Nazib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Gema
Insani, 2000.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi'i, Ulumul Qur'an I, Bandung, Pustaka
Setia, 1997.

Makalah ULUMUL QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA

ULUMUL QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA




I. PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN

Kata ‘Uluum jamak dari kata ‘ilmu. ‘Ilmu berarti al-fahmu walidraak (“paham dan menguasai”). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi; yang dimaksud dengan ‘ULUUMUL QUR’AN ialah yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi asbaabun nuzuul, an-Nasikh wal mansukh, al-muhkam wal mutasyaabih, al-Makki wal Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an. Terkadang ilmu ini dinamakan juga USUULUT TAFSIIR (“dasar-dasar tafsir”), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur’an.

Terdapat berbagai defenisi tentang yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ( ilmu ilmu al-qur’an ). contohnya yaitu :
Imam Al-Zarqani dalam kitabnya manahil al-irfan fi ulum al-qur’an merumuskan Ulumul Qur’an sebagai berikut : “ Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-qur’an, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap al-qur’an dan sebagainya”.
Imam Al-Suyuthi dalam kitab itmamu al-dirayah mengatakan, Ulumul Qur’an adalah : “ ilmu yang membahas tentang keadaan al-qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna – maknanya, baik yang berhubungan dengan lafal-lafalnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
II. PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN

Ulumul Qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah SAW, tetapi saat itu Rasulullah S.A.W tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur dengan yang lain. “ Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa rasulullah S.A.W berkata :
“Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan
dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa
yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya
di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu, Rasulullah S.A.W baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah S.A.W., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman r.a dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman.r.a. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah.
Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ataa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud; dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau dari para tabi’in.
Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin hammam (wafat 112H).
Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.
Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310H).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Pada abad ketiga hijri, ada :
- Ali bin al-Madani (wafat 234H), guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbaabun nuzuul.
- Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224H), menulis tentang Nasikh-Mansukh dan Qira’aat.
- Ibn Qutaibah (wafat 276H), menyusun tentang problematika Qur’an / Musykilatul Qur’an.

Pada abad keempat hijri, ada :
- Muhammad bin khalaf bin Marzaban (wafat 309H), menyusun al-Haawii faa ‘Uluumil Qur’an.
- Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 351H), juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an.
- Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330H), menyusun Ghariibil Qur’an.
- Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388H), menyusun al-Istignaa’fi ‘Uluumil Qur’an.

Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu ilmu Qur’an tetap berlangsung sesudah itu, seperti :
- Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403H), menyusun I’jazul Qur’an.
- Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi (wafat 430H), menulis mengenai I’raabul Qur’an.
- Al-Mawardi (wafat 450H), menyusun tentang tamsil-tamsil dalam Qur’an (Amsaalul Qur’an).
- Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (wafat 660H), menyusun tentang majaz dalam Qur’an.
- ‘Alamuddin as-Sakhawi (wafat 634H), menulis mengenai ilmu Qira’at (cara membaca Qur’an) dan Aqsaaul Qur’an.
Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Qur’an.
Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an, semuanya atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Aziim az-Zarqaani menyebutkan didalam kitabnya Manaahilul ‘Irfan fi ‘Uluumil Qur’an bahwa ia telah menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan al-Hufi, judulnya al-Burhaan fi ‘uluumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid.
Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebut dengan al-Qaul fii Qaulihi ‘Azza wa jalla (pendapat mengenai firman Allah ‘Azza wa jalla). Kemudian dibawah judul ini dicantumkan :
- al-Qaul fil I’rab (pendapat mengenai morfologi)
- al-Qaul fil ma’naa wat Tafsir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya)
- al-Qaul fil waqfi wat tamaam ( pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak)
Sedangkan Qira’at diletakkan dalam judul tersendiri pula, yang disebut al-Qaul fil Qira’at (pendapat mengenai qira’at). Dan kadang ia berbicara tentang hukum-hukum dalam Qur’an.
Dengan metode seperti ini, al-Hufi (wafat 330H) dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an/ ilmu-ilmu Qur’an. Meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebut diatas.
Kemudian karang mengarang tentang ilmu-ilmu Qur’an terus berlanjut, seperti ada :
- Ibnul jauzi (wafat 597H), dengan menulis sebuah kitab berjudul Funuunul Afnaan fi ‘Aja’ibi ‘Uluumil Qur’an.
- Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794H), menulis sebuah kitab lengkap dengan judul al-Burhaan fi ‘Uluumil Qur’an.
- Jalaluddin al-Balqini (wafat 824H), memberikan tambahan atas kitab al-Burhan didalam kitabnya Mawaqi’ul ‘Uluum min Mawaaqi’in Nujuum.
- Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911H), menyusun kitab yang terkenal al-Itqaan fi Uluumil Qur’an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Qur’an dengan metode baru pula, seperti :
- Kitab I’jaazul Qur’an, yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i.
- Kitab at-Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyaamah fil Qur’an, oleh Sayid Qutb.
- Kitab Tarjamatul Qur’an, oleh Muhammad Mustafa al-Maragi.
- Kitab Mas’alatu Tarjamatil Qur’an, oleh Mustafa Sabri.
- Kitab an-Naba’ul ‘Aziim, oleh Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz.
- Kitab Mukaddimah tafsir Mahaasinut Ta’wil, oleh Jamaluddin al-Qasimi.
- Kitab at-Tibyaan fi ‘uluumil Qur’an, oleh Syaikh Tahir al-Jaza’iri.
- Kitab Manhajul Furqaan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Salamah.
- Kitab Manaahilul ‘irfan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani.
- Kitab Muzakkiraat ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Ahmad ‘Ali.
Dan akhirnya muncul Kitab Mabaahisu fi ‘Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Salih. Juga diikuti oleh Ustadz Ahmad Muhammad Jaml yang menulis beberapa studi sekitar masalah “Maa’idah” dalam Qur’an.
Pembahasan-pembahasan tersebut diatas dikenal dengan sebutan ‘ULUUMUL QUR’AN, dan kata ini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.

III. RUANG LINGKUP ULUMUL QUR’AN

Dari uraian diatas tersebut tergambar bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-qur’an. Subhi al-shalih lebih lanjut menjelaskan bahwa para perintis ilmu al-qur’an adalah sebagai berikut :
Dari kalangan sahabat nabi
Dari kalangan tabi’in di madinah
Dari kalangan tabi’ut tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin)
Dan dari generasi-generasi setelah itu.

Para ulama mufasir dari semua kalangan dan generasi-generasi yang tercakup dalam lingkup Uluumul Qur’an menafsirkan Qur’an selalu berpegang pada :

1). Al-Qur’anul Karim
Sebab apa yang yang dikemukakan secara global di satu tempat/ayat dijelaskan secara terperinci ditempat/ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”.

2). Nabi S.A.W
Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepada beliau ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Diantara kandungan Qur’an terdapat ayat ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah . misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardhukan-Nya.

3). Para Sahabat
Mengingat para sahabatlah yang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah SAW cukup menjadi acuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu Qur’an. Dan yang cukup banyak menafsirkan Qur’an seperti empat orang khalifah dan para sahabat lainnya.

4). Pemahaman dan ijtihad
Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, dan banyak perbedaan-perbedaan dari kalangan sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek yang ada didalamnya.

Pada masa kalangan sahabat, tidak ada sedikit pun tafsir / ilmu ilmu tentang Qur’an yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua hijri. Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah.

IV. CABANG CABANG ULUMUL QUR’AN

Secara garis besar Ulumul Qur’an terbagi dua, yaitu:
Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata mata, seperti ilmu qira’at, tempat turunnya ayat-ayat al-qur’an, waktu turunnya, dan sebab-sebabnya.
Ilmu yang berhubungan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafal yang gharib (asing pengertiannya) serta mengetahui makna ayat yang berhubungan dengan hukum.
Tujuan mempelajari ulumul qur’an ini adalah untuk memperoleh keahlian dalam mengistimbath hukum syara’, baik mengenai keyakinan atau I’tiqad, amalan, budi pekerti, maupun lainnya. Cabang-cabang dari Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut :

Ilmu Mawathin al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan tempat tempat turunnya ayat, masanya, awal dan akhirnya.
Ilmu Tawarikh al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turun surat dengan sempurna.
Ilmu Asbab al-nuzul yaitu : ilmu yang menerangkan sebab sebab turunnya ayat.
Ilmu Qira’at yaitu : ilmu yang menerangkan rupa-rupa Qira’at ( bacaan Al-Qur’an yang diterima dari Rasulullah SAW ).
Ilmu tajwid yaitu : ilmu yang menerangkan cara membaca al-qur’an, tempat mulai dan pemberhentiannya.
Ilmu Gharib al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna-makna kata yang halus, tinggi, dan pelik.
Ilmu I’rabil qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan baris al-qur’an dan kedudukan lafal dalam ta’bir ( susunan kalimat ).
Ilmu Wujuh wa al-nazhair yaitu : ilmu yang menerangkan kata-kata al-qur’an yang banyak arti, menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat.
Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih yaitu : ilmu yang menyatakan ayat ayat yang dipandang muhkam dan ayat ayat yang dianggap mutasyabih.
Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh yaitu : ilmu yang menerangkan ayat ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufasir.
Ilmu Bada’I al-qur’an yaitu : ilmu yang membahas keindahan keindahan al-qur’an. ilmu ini menerangkan kesusastraan al-qur’an, kepelikan, dan ketinggian balaghahnya.
Ilmu I’daz al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al-qur’an, sehingga ia dipandang sebagai mukjizat.
Ilmu Tanasub ayat al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Ilmu Aqsam al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di al-qur’an.
Ilmu Amtsal al-qur’an yaitu : ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada dalam al-qur’an.
Ilmu Jidal al-qur’an yaitu : ilmu untuk mengetahui rupa rupa debat yang dihadapkan al-qur’an kepada kaum musyrikin dan lainnya.
Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an yaitu : ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan didalam membaca al-qur’an. Segala kesusilaan, kesopanan, dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca al-qur’an.
Dan ilmu-ilmu lain yang membahas tentang Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar